Sabtu, 10 Juli 2010

OBAT ANTIANGINA

I. PENDAHULUAN

Angina pectoris adalah gejala utama penyakit jantung iskemik, berupa rasa nyeri hebat di dalam dada (retrosternal) yang menjalar ke lengan kiri, leher, atau rahang; dicetuskan oleh kerja fisik, ketegangan mental, hawa dingin, atau pada waktu makan. Nyeri angina dapat terjadi bila aliran darah koroner tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik jantung. Rasa nyeri dapat dikurangi atau dihilangkan dengan obat yang memperbaiki perfusi darah ke miocard atau yang mengurangi kebutuhan metabolik jantung atau obat yang bekerja dengan kedua cara ini. Gejala angina pectoris timbul ketika suatu ketidakseimbangan akut antara kebutuhan oksigen miokard dan jumlah oksigen yang ada untuk keperluan tersebut terjadi. Hal ini terjadi ketika terdapat peningkatan kebutuhan oksigen yang tiba-tiba pada suatu jantung iskemik yang kronis, atau ketika terdapat spasme dari suatu arteri koroner (disebut varian=atipikal=angina Prinzmetal). Selain itu, terdapat juga angina tak stabil yang biasanya disebabkan oleh ruptur suatu plak ateromatous dalam suatu arteri koroner yang selanjutnya bisa berkembang menjadi serangan infark miocard.
Obat-obat yang digunakan pada pengobatan angina antara lain, Vasodilatator koroner (terdiri dari Nitrat Organik dan Antagonis Kalsium) dan β-Blockers yang berfungsi mengurangi kebutuhan oksigen miocard.
II. OBAT-OBAT ANGINA PECTORIS
A. Vasodilator Koroner
Zat-zat ini memperlebar arteri jantung, memperlancar pemasukan darah serta oksigen, dan dengan demikian meringankan beban jantung. Pada serangan akut, obat pilihan utama adalah nitrogliserin sublingual dengan kerja pesat tetapi singkat. Sebagai terapi interval guna mengurangi frekuensi serangan tersedia nitrat long acting (isosorbide-nitrat), Antagonis Calcium (Diltiazem, Verapamil), dan Dipiridamol.
1. Nitrogliserin
Farmakologi, trinitrat dari gliserol berkhasiat relaksasi otot pembuluh, bronchia, saluran empedu, lambung usus, dan kemih. Berkhasiat vasodilatasi berdasarkan terbentuknya nitrogenoksida (NO) dari nitrat di sel-sel dinding pembuluh. NO bekerja mengendurkan sel-sel ototnya, sehingga pembuluh terutama vena mendilatasi dengan langsung. Akibatnya, tekanan darah turun dengan pesan dan aliran darah vena yang kembali ke jantung berkurang. Penggunaan oksigen jantung menurun dan bebannya dikurangi. Arteri koroner juga diperlebar, tetapi tanpa efek langsung terhadap miocard.
Penggunaan, per oral untuk menanggulangi serangan angina akut secara efektif, begitupula sebagai profilaksis jangka pendek, misalnya langsung sebelum melakukan aktivitas bertenaga (exertion) atau menghadapi situasi lain yang dapat menginduksi serangan. Secara intravena digunakan pada dekompensasi tertentu setelah infark jantung, jika digoksin dan diuretika kurang meberikan hasil.
Efek samping, yang terpenting berupa nyeri kepala dan refleks takikardia, juga hipotensi ortostatis, pusing, nausea, ‘flushing’, disusul dengan muka pucat. Bila efek terakhir timbul, maka pasien harus mengeluarkan sisa tablet dari mulut dan segera berbaring. Plester dapat menimbulkan iritasi kulit (merah) dengan rasa terbakar dan gatal-gatal.
2. Isosorbida-5-mononitrat
Farmakologis, Derivat nitrat siklis sama kerjanya dengan nitrogliserin, tetapi bersifat long-acting. Di dinding pembuluh zat ini diubah menjadi nitrogenoksida (NO), yang mengaktivasi enzim tertentu. Karena itu, kadar cGMP (cyclo Guanyl-Mono-Phosphate) di sel otot polos naik dengan akibat vasodilatasi.
Penggunaan, Isosorbida-5-mononitrat terutama digunakan oral sebagai profilaksis untuk mengurangi frekuensi serangan, juga secara oromukosal (tablet retard). Adakalanya juga oral pada dekompensasi yang dengan obat-obat lazim kurang berhasil.
3. Isosorbida-dinitrat
Farmakologi, Isosorbida-dinitrat adalah derivate dengan khasiat dan penggunaan sama. Secara sublingual mulai kerjanya dalam 3 menit dan bertahan sampai 2 jam, secara spray masing-masing 1 menit dan 1 jam, sedangkan oral masing-masing 20 menit dan 4 jam (tablet retard 8-10 jam).
4. Dipiridamol
Farmakologi, sebagai penghambat fosfodiesterase, derivat dipiperidino ini berdaya inotrop positif lemah tanpa menikkan penggunaan oksigen dan vasodilatasi, juga terhadap arteri jantung. Penggunaannya pada angina kini dianggap obsolet, karena kurang efektif. Begitu pula sebagai obat pencegah infark kedua (bersama asetosal), berdasarkan kerja antitrombotiknya. Khusus digunakan sebagai obat tambahan antikoagulansia pada bedah penggantian katup jantung untuk mencegah penyumbatan karena penggumpalan darah (tromboemboli).
Efek samping, gangguan lambung usus, nyeri kepala, pusing, dan palpitasi yang bersifat sementara.
B. β-Blockers
Farmakologi, β-blockers memperlambat pukulan jantung (bradycardia, efek kronotrop negatif), sehingga mengurangi kebutuhan oksigen miocard. Juga digunakan pada terapi interval. Zat-zat ini mengikat diri secara reversibel pada reseptor β-adrenoreseptor dan dengan demikian memblok reaksi atas impuls saraf simpatik atau katekolamin (nor/adrenalin, serotonin, dan sebagainya) dari sirkulasi.
Blokade reseptor β1 menurunkan frekuensi jantung (efek kronotrop negatif), daya kontraksi (efek inotrop negatif), dan volume-menit jantung. Kecepatan penyaluran AV diperlambat dan tekanan darah diturunkan.
Blokade reseptor β2 dapat antara lain menimbulkan bronchokonstriksi dan meniadakan efek vasodilatasi dari katekolamin terhadap pembuluh perifer.
Penggunaan, selain pada pada hipertensi juga pada :
a. Angina Stabil Kronis, berdasarkan efek kronotrop negatifnya yang menyebabkan dikuranginya kebutuhan oksigen jantung exertion, hawa dingin, dan emosi. Secara sekunder juga penyaluran darah melalui pembuluh koroner berkurang. Pada angina variant, kerjanya tak konstan, yaitu dapat positif dan negatif, maka umumnya lebih disukai antagonis kalsium.
b. Gangguaan Ritme, antara lain fibrilasi dan flutter serambi, juga takikardia supraventrikuler. Terutama sebagai obat tambahan, bila glikosida jantung tunggal kurang menghasilkan efek.
C. Antagonis Ca2+
Calcium entry-blockers mengurangi penggunaan oksigen selama exertion, karena tekanan darah arteri umumnya turun akibat vasodilatasi perifer dan turunnya frekuensi jantung (efek kronotrop negatif). Selain itu, pemasukan darah diperbesar karena vasodilatasi miocard, efek inotrop negatifnya hanya ringan atau hilang sama sekali.
1. Nifedipin
Farmakologi, Dihidropiridin terutama berkhasiat vasodilatasi kuat dengan hanya kerja ringan terhadap jantung. Efek inotrop negatifnya ditiadakan oleh vasodilatasi, bahkan frekuensi jantung serta cardiac output justru dinaikkan sedikit akibat antara lain turunnya afterload (volume darah yang dipompa keluar jantung ke arteri)
2. Verapamil
Farmakologi, Rumus kimia senyawa amin ini mirip papaverin. Khasiat vasodilatasinya tidak sekuat nifedipin dan derivatnya, tetapi efek inotrop negatifnya lebih besar. Bekerja kronotrop ringan dan memperlambat penyaluran impuls AV.
Penggunaan, digunakan pada angina variant/stabil, hipertensi dan aritmia tertentu (antara lain takikardia supraventrikuler, fibrilasi serambi)
3. Diltiazem
Farmakologi, derivat benzothiazin ini berkhasiat vasodilatasi lebih kuat dar verapamil, tetapi efek inotrop negatifnya lebih ringan.
Penggunaan, sama dengan verapamil pada angina variant/stabil, hipertensi, dan aritmia tertentu.

OBAT ANTIHIPERTENSI
I. PENDAHULUAN
Hipertensi adalah penyakit kompleks yang ditandai dengan adanya tekanan diastolic lebih dari 90 mmHg pada saat istirahat, kecuali pada isolated systolic hypertension, dengan adanya peningkatan tekanan sistolik tanpa disertai peningkatan tekanan diastolik. Ada hipertensi yang tidak diketahui sebabnya (hipertensi esensial) atau hipertensi sekunder dengan sebab yang jelas, misalnya penyakit ginjal, penyakit renovaskuler, berbagai penyakit endokrin, coarcttion of the orta, dan obat-obatan.
Hipertensi biasanya asimptomatik (tidak ada gejala). Tetapi hipertensi kronis menyebabkan komplikasi tertentu (gagal jantung, gagal ginjal, stroke, dan iskemia miocard). Walaupun sulit untuk memberikan definisi yang persis mengenai derajat keparahan hipertensi, patokan kerja yang dapat digunakan, antara lain :
1. Hipertensi ringan (135/85-140/90 mmHg).
2. Hipertensi sedang (140/90-160/100 mmHg).
3. Hipertensi berat (> 160/100 mmHg).
4. Hipertensi Emergensi (tekanan diastolik > 120 mmHg, atau jika ada ensefalopati dengan tekanan darah berapa pun).
Terapi hipertensi umumnya merupakan terapi obat seumur hidup, dan karena itu harus hati-hati memastikan bahwa diagnosis adalah benar.
II. MEKANISME KERJA OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI
Walaupun semua obat antihipertensi yang dibicarakan di sini menurunkan tekanan darah, sampai sejauh ini hanya diuretik dan β-blockers yang telah terbukti mencegah komplikasi jangka panjang hipertensi. Semua obat-obat antihipertensi lainnya digunakan dengan anggapan bahwa penurunan tekanan darah merupakan kunci dalam mencegah komplikasi-komplikasi tersebut.
1. Diuretik, mekanisme kerja diuretik thiazide dalam hipertensi belum jelas dan tidak dapat dihubungkan hanya dengan efeknya pada keseimbangan garam dan air. Diuretik yang lebih efektif, seperti furosemid, bukan merupakan obat antihipertensi yang lebih efektif. Walaupun volume cairan intravaskular dan jumlah Na+ total dalam tubuh berkurang selama minggu pertama terapi dengan diuretik, peningkatan renin sirkulasi terjadi, dan dalam beberapa minggu volume intravaskular dan jumlah Na+ tubuh kembali normal, namun efek antihipertensi menetap. Kemungkinan bahwa diuretik bekerja dengan suatu efek langsung pada otot polos vaskular yang menyebabkan vasodilatasi. Efek tersebut dapat dihasilkan melalui suatu pengurangan Na+ pada dinding pembuluh darah (mengubah Ca2+ dinamik) atau melalui suatu kerja pada kanal K+. Diazoksid, suatu senyawa mirip thiazide menyebabkan retensi Na+, merupakan suatu antihipertensi kuat, yang bekerja dengan membuka kanal K+ sehingga menyebabkan vasodilatasi perifer.
2. β-Blockers (antagonis β-adrenoseptor). Mekanisme kerja β-blockers tidak dimengerti dengan jelas. Yang sekarang diketahui adalah obat ini menyebabkan penurunan curah jantung, dengan refleks baroreseptor tidak mengompensasi secara penuh, dan kemudian reseptor barorefleks ini diatur kembali, dan dengan demikian resitensi perifer turun. Namun, semuanya ini menunjukkan bahwa mekanisme kerja β-blockers ini belum jelas. Hipotesis lainnya adalah obat β-blockers memiliki efek sentral, yang mengubah tonus simpatis (ini tidak cocok karena obat-obat β-blockers yang kurang menembus otak, misalnya atenolol adalah obat antihipertensi yang sama baiknya), atau mereka menghambat pelepasan renin dari ginjal.
3. Inhibitors ACE. Inhibitors ACE menghambat konversi Angiotensin I menjadi Angiotensin II. Senyawa ini juga menghambat inaktivasi bradikinin. Hambatan terhdap ACE tidak hanya terjadi dalam plasma tetapi juga didalam endothelium vaskular, menghasilkan vasodilatasi, penurunan resistensi perifer, dan penurunan tekanan darah. Terdapat bukti bahwa inhibitor ACE memperbaiki arteriol medial hypertrophy yang terjadi pada hipertensi dan mengurangi hipertrofi jantung. Inhibitor ACE juga mengurangi produksi aldosterone dan retensi Na+, dan ini juga dapat berperan dalam efek antihipertensinya.
4. Vasodilator. Beberapa obat antihipertensi merupakan vasodilator langsung pada arterioli. Bloker kanal kalsium (Ca-antagonis) mengurangi masuknya Ca2+ kedalam sel melalui potential-operated Ca-chanels. Natrium Nitroprusid meniru kerja EDRF (nitrogen monoksida) pada otot polos vaskular. Mekanisme kerja vasodilator lainnya, seperti minoksidil, hidralazin, dan diazoksid yang bekerja langsung pada arteriol, tidak diketahui, tetapi beberapa diantaranya mungkin bekerja dengan cara stimulasi K+-effluks dari sel-sel melalui kanal K+. Hidralazin dan Ca antagonis menyebabkan suatu refleks takikardia, yang dapat diatasi (dan efek antihipertensinya bertambah) dengan pemberian bersama suatu β-blocker. Jika suatu vasodilator menyebabkan retensi garam dan air, suatu diuretik dapat ditambahkan.
5. α-Blocker (antagonis α-adreseptor) obat tertentu memiliki kerja vasodilatasi langsung pada otot polos vaskular dengan efek hambatan pada α-adenoseptor, khususnya α1-adrenoseptor pascasinaptik. Contoh obat-obat ini antara lain prazosin, doksazosin, terazosin, dan indoramin. Labetalol memiliki efek gabungan α-bloker dan β-bloker yang nonspesifik.
6. Antagonis reseptor angiotensin II. Obat-obat golongan ini antara lain losartan, valsartan, irbesartan, dan kandesartan; menghambat kerja angiotensin II pada reseptornya. Karena inhibitor ACE menghambat hanya sebagian konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, blokade reseptor merupakan suatu cara yang lebih efektif untuk mengurangi kerja Angiotensin II.
7. Obat-obat yang memengaruhi kontrol saraf terhadap tekanan darah. Obat-obat ini bekerja dengan cara yang berbeda-beda. Obat yang merupakan agonis α-adrenoseptor bekerja dengan menstimulasi α-adrenoseptor pada batang otak dan menyebabkan pengurangan fungsi sistem saraf simpatik perifer. Klonidin adalah suatu agonis langsung pada α-adrenoseptor prasinaptik. α-Metildopa diperkirakan bekerja dengan cara dikonversi didalam neuron-neuron noradrenergic menjadi α-metilnoradrenalin, yang merupakan suatu agonis alfa yang kuat. Reserpin menyebabkan pengosongan simpanan katekolamin saraf, baik yang di saraf pusat maupun yang di perifer. Bloker neuron adrenergi, yang meliputi betanidin, debrisokuin, dan guanetidin, menghambat pelepasan noradrenalin dari ujung-ujung saraf simpatik perifer. Selain penggunaan metildopa pada kehamilan, obat-obat tersebut telah digantikan oleh obat lainnya dalam pengobatan hipertensi.

KEPUSTAKAAN
• Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Samping Edisi V. Jakarta: Elex Media Komputindo kelompok Gramedia.
• Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2008. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Samping Edisi VI. Jakarta: Elex Media Komputindo kelompok Gramedia.
• Staf Pengajar Departemen Farmakologi Universitas Sriwijaya. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Jakarta: EGC, Penerbit Buku Kedokteran.
• Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi Buku Ajar Edisi Kelima. Bandung: Penerbit ITB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar